Sabtu, 28 Maret 2015

Menguak Pesugihan Para Juragan Batik

Apa hubungan makam keramat Tumenggung Pusponegoro dengan ritual Pesugihan Para Juragan Batik ?
Duit gepokan
Ilustrasi uang gepokan


NUSUPAN, sebuah desa di sepanjang Sungai Bengawan Solo, tidak hanya memiliki sejarah pelayaran yang panjang, tetapi juga pernah berada di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Namun selain itu, kota Nusupani juga merupakan pelabuhan besar tempat berlabuhnya kapal-kapal dan kapal-kapal dari dunia luar, yang mendongkrak perekonomian negara Jawa saat itu. Sungai Bengawan Sola pada zaman dahulu dikenal dengan nama Sungai Bengawan Semanggi. Kanal Sungai Bengawan Semanggi adalah satu-satunya jalur transportasi utama yang menghubungkan dunia luar ke pusat  (era Kerajaan Majapahit, Pengging, Pajang, Kartasura dan Mataram).

Banyak kota yang terletak di sepanjang Sungai Bengawan Semanggi, salah satunya adalah Bandar Wulayu atau Bandar Semanggi. Nama kota ini kemudian digunakan oleh penduduk sebagai nama Sungai Bengawan Sola. Selain Bandar Semagg, Bandar Nusupan di sebelah tenggara kota Solo juga digunakan sebagai pusat dermaga yang menghubungkan beberapa sungai kecil, antara lain Kali Wingko, Kali Pepe, dan Kali Jines. Sungai kecil ini merupakan jalan raya menuju pusat kota kerajaan dan menghubungkan Sungai Bengawan Semanggi.

Selain pelabuhan di Sungai Bengawan Semanggi, di tengahnya terdapat pelabuhan tempat kapal dan perahu yang mengangkut berbagai kebutuhan pertanian serta kebutuhan sandang sehari-hari bongkar muat. Salah satunya adalah Bandar Kabanaran yang terletak di Desa Laweyan Solo. 

Pada masa Kesultanan Pajang, daerah Laweyan adalah  milik KI Ageng Henis, yang menjadi pusat perdagangan kain. Dekat Bandar Kabanaran adalah Pasar Kabangan,  nama Kabangan berasal dari Abangan, mayoritas penduduknya adalah Abangan. Kawasan Laweyan tidak hanya menjadi pusat perdagangan kain, tetapi juga pusat perdagangan batik yang didominasi oleh para empu batik. Sebagai zona ekonomi mandiri  yang diperintah oleh para empu batik kaya, hal itu tidak membuat pejabat istana hangat. Sehingga, muncullah konflik sosial di antara keduanya, yang kemudian menjadi catatan sejarah tersendiri dalam perkembangan budaya Jawa di Surakarta.

Saat itu, para empu batik di desa Laweyan tidak lepas dari perannya di desa Nusupan dengan adanya tempat keramat. Seiring berkembangnya peradaban, setelah keraton Kartasura dibawa ke Solo, sungai purba yang dulu bernama Bengawan Semanggi berubah nama menjadi Sungai Bengawan Solo. Dermaga di sepanjang alur Sungai Bengawan Solo masih tetap menjadi jalur transportasi yang menghubungkan keraton dengan dunia luar. Tak terkecuali Bandar Nusupan yang menjadi dermaga utama Keraton Solo. Di tempat itu, Sinuhu PB III mencatatkan rekor ukuran dermaga saat itu.

Kota Nusupan yang kini berubah nama menjadi Desa Nusupan, dahulu kala merupakan hutan lebat, istana para keteks (kera). Inilah yang pernah dikatakan sesepuh desa Nusupan kepada Yusuf, penjaga makam suci desa Nusupan.

Menurut cerita, Desa Nusupani pernah menyimpan berbagai peninggalan sejarah dan serangga keramat. Salah satunya membuat kepala perahu Canthik Rajamala yang sangat dikeramatkan di puri dan juga dibuat di desa Nusupani. Saat itu Bandar Nusupan masih digunakan untuk pelayaran. Dermaga ini juga pernah digunakan sebagai tempat berlabuhnya Pohon Keramat Hutan Donoloyo pada masa pembangunan Keraton Solo.

Desa Nusupan memiliki beberapa bangunan keramat dan petilasan. Namun berdasarkan banyaknya dokumen sejarah dan keramat, warga sekitar meyakini bahwa makam keramat Tumenggung Pusponegoro adalah titipan para empu batik. Oleh karena itu,  pendahulu para empu batik kuno Solo tidak lepas dari peran makam keramat di Desa Nusupan.

Menurut Yusuf (37), juru kunci makam Tumenggung Pusponegoro, Babad Nusupan menyebutkan bahwa Tumenggung Pusponegoro pernah menjadi kepala desa Nusupan. Orang yang pertama kali membangun peradaban di Nusupan. Selain itu, patung Tumenggung Pusponegoro dianggap sebagai punden  para empu batik. Oleh karena itu, di kompleks makam Tumenggung Pusponegoro banyak terdapat batu nisan  para empu batik. Menurut mitos setempat, para empu batik yang sudah meninggal dimakamkan di dekat punden. 
 "Sebagian besar nenek moyang pembatik dimakamkan di Makam Nusupan, satu kompleks pemakaman dengan Tumenggung Pusponegoro," katanya.
"Tidak hanya juragan batik yang berasal dari kampung laweyan, tetapi  juragan batik pribumi yang ada di kota Solo, mayoritas leluhurnya di makamkan di kampung Nusupan" Tambahnya.

Yusuf mengatakan bahwa meskipun ia hanya menjadi penjaga makam selama lima tahun, ia mendengar cerita dari kakeknya, yang mengatakan kepadanya bahwa desa Nusupan pada zaman kuno di padang pasir di mana monyet tinggal di istana. Menurut pengakuan sang kakek, kebanyakan monyet berkulit putih. Keraton kethek putih ini terletak di tengah pohon Prehi dekat makam Tumenggung Pusponegoro. Kethek Putih dipercaya sebagai penjaga makam Tumenggung Pusponegoro yang dapat memberikan kesuksesan jika menyerupai tuannya.

Makam Tumenggung Pusponegoro berbentuk kubah, berjajar dengan makam-makam lainnya. Ada juga  makam keramat di deretan batu nisan milik seorang bandit kerajaan yang sangat sakti, namun Yusuf dilarang dianiaya. Tabu atau waler ini pernah diturunkan oleh kakeknya  agar dia tidak mendorong salah satu kuburan di barisan tengah. Larangan itu untuk mencegah Yusuf mengikuti jejak para bandit. Karena sejak zaman dahulu diyakini bahwa siapa pun yang berdagang di kuburan perampok, hidupnya  menjadi perampok. 

 Wewaler, adalah tabu spiritual yang harus dipatahkan oleh orang-orang. Tapi sementara itu tabu bagi Yusuf, tidak bagi orang lain. Ada juga banyak ritualis yang melakukan ritual pemberkatan di makam perampok kerajaan. Menurut Yusuf, sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai bromocorah.

Apalagi, menurut Yusuf, pengunjung makam Nusupan akan mendapatkan kesuksesan yang luar biasa dan kekayaan yang melimpah. Tetapi ketika mereka mati, mereka dikuburkan di tempat mereka dikuburkan. Menurut mitos masyarakat saat itu, mereka yang dimakamkan di makam Nusupan menjadi penghuni keraton kethek putih. Karena kekayaan dan kesuksesan bisnis batik mereka, peran ketek putih dikatakan tidak terpisahkan. 

Yusuf yang bertindak sebagai penjaga makam Nusupani, mengusir banyak pemuja kethek pesugihan putih di makam Nusupan. Menurutnya, mereka biasanya meminta agar usahanya lancar dan sukses. Namun demikian, itu adalah ikatan tak terlihat antara keduanya yang hanya dosa yang harus ditanggung. 
Dalam mitos kehidupan orang Jawa, melakukan pepunden adalah hal biasa. Hal ini karena animisme dan dinamisme masih kental dalam tatanan tradisional sehari-hari. Peran makhluk gaib dalam tugas-tugas kehidupan sehari-hari adalah duniawi. Selalu pernikahan supernatural juga sangat mungkin pada waktu itu.

Pohon Preh yang menjadi istana gaib Kethek putih, sekilas terlihat sangat menyeramkan. Pohon berusia seratus tahun itu tampak berlubang di  tengahnya. Menurut Yusuf, dulunya di dalam lubang pohon terdapat bangunan gapura makam yang kini terjalin dengan akar pohon Prehi. Lubang pohon setinggi satu meter ini digunakan sebagai tempat  melakukan ritual pemujaan. Namun, sebelum melakukan ritual pemujaan di dalam gua, para pelaku ritual harus terlebih dahulu melakukan ritual ziarah di makam Tumenggung Pusponegoro yang dianggap sebagai perempuan di desa Nusupan. 

Setelah melakukan ritual di makam Tumenggung Pusponegoro,  pelaku ritual  melakukan upacara ritual di pohon preh atau di tempat lain sesuai keinginan  pelaku ritual itu sendiri. Makam suci Nusupan mungkin masih sangat angker. Patung makhluk besar yang biasa terlihat  berdiri di atas batu nisan Tumenggung Pusponegoro. Tak hanya itu, setiap hari  masih ada monyet putih yang bergelantungan di dahan pohon. Monyet masih bisa dilihat tidak hanya di malam hari, tetapi juga di siang hari.

1 komentar:

  1. Makam di depan cungkup kebanyakan putra Eyang Menggung. Putra beliau 25 orang. Beristri 3 orang. Saya turun ke 7.

    BalasHapus