Poligami dan Agama
1.Hindu. Poligini dan poliandri dilakukan oleh sekalangan masyarakat Hindu pada zaman dulu. Namun, pada praktiknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta tertentu yang melakukan poligami. Poligami mungkin juga terjadi karena terpaksa yang dilakukan karena berbagai alasan, misalnya karena tidak mempunyai keturunan atau tujuan politik Raja-Raja Hindu.
Kitab-kitab Hindu secara jelas melarang poligami. Manawa Dharmasastra yang digunakan sebagai pegangan hukum Hindu, Buku ke-3 (Tritiyo ‘dhayayah) pasal 5 berbunyi: "Asapinda ca ya matura, sagotra ca ya pituh, sa prasasta dwijatinam, dara karmani maithune." "Seorang gadis yang bukan sapinda dari garis-garis ibu, juga tidak dari keluarga yang sama dari garis bapak dianjurkan untuk dapat dikawini oleh seorang lelaki dwijati."
Tafsirnya adalah, perkawinan yang dianjurkan adalah antara satu orang gadis dan satu orang lelaki di mana keduanya tidak mempunyai hubungan darah yang dekat. Istilah dwijati ditafsirkan sebagai seorang lelaki yang telah menyelesaikan pelajaran (kuliah) dan mendapat pekerjaan atau mandiri.
Pada Rgveda X.27.12 tertulis: "Kiyati yosa maryato vadhuyoh, pariprita panyasa varyena, bhadra vadhur bhavati yat supesah, svayam sa mitram vanute jane cit." "Gadis-gadis tertarik oleh kebaikan yang unggul dari para lelaki yang hendak mengawininya, seorang gadis beruntung menjadi pemenang dari pilihan seorang lelaki dari kumpulannya."
Poliandri Drupadi dengan kelima Pandawa. Poliandri yang dilakukan Drupadi dalam Mahabharata tidak dipandang sebagai perkawinan yang didasari pada kebutuhan sex, tetapi lebih ditekankan pada ajaran etika, yaitu mentaati perintah Dewi Kunti agar panca Pandawa selalu bersatu dan selalu berbagi dengan saudara-saudara yang lain. Selain itu, Drupadi pada kehidupannya yang lampau adalah seorang gadis tua yang tidak kawin. Ia memuja Dewa Siwa untuk diberikan suami yang pantas. Permohonan itu ia ucapkan sebanyak lima kali sehingga pada reinkarnasinya sebagai Drupadi, Dewa Siwa memenuhi permintaan itu dengan memberikannya lima orang suami dari kesatria utama.
2.Buddhisme. Dalam agama Buddha, perihal poligami tidak dijelaskan dalam aturan secara langsung, karena Sang Buddha tidak menetapkan hukum religius apapun berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, namun yang ada adalah nasehat-nasehat berharga tentang bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga yang terpuji.
Buddha Sidharta Gautama tidak menetapkan hukum religius yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, melainkan memberikan nasihat tentang bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga yang terpuji. Walaupun Buddha tidak menyebutkan apapun tentang jumlah istri yang dapat dimiliki seorang pria, ia dengan tegas menyatakan bahwa seorang pria yang telah menikah kemudian pergi ke wanita lainnya yang tidak dalam ikatan perkawinan, hal tersebut dapat menjadi sebab keruntuhannya sendiri. Ia akan menghadapi berbagai masalah dan rintangan lainnya.
Ajaran Buddha hanya menjelaskan suatu kondisi dan akibat-akibatnya. Orang-orang dapat berpikir sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Bagaimanapun juga, jika hukum negara menetapkan bahwa pernikahan haruslah monogami, hukum tersebut harus dipatuhi.
3. Yudaisme. Walaupun kitab-kitab kuno agama Yahudi menandakan bahwa poligami diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.
4.Kristiani. Gereja-gereja Kristiani umum, seperti Kristen Protestan, Katolik, dan Ortodoks, menentang praktik poligami. Namun, beberapa aliran Kristen memperbolehkan poligami dengan merujuk pada kitab-kitab kuno Yahudi. Gereja Katolik merevisi pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang poligami yang berlaku hingga sekarang.
Rujukan yang digunakan umat Kristiani mengenai poligami adalah Kitab Injil Markus 10:1-12 yang berbunyi:
"(10:1) Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situpun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula. (10:2) Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?" (10:3) Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?" (10:4) Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai." (10:5) Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. (10:6) Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, (10:7) sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, (10:8) sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. (10:9) Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (10:10) Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu. (10:11) Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. (10:12) Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zina."
5.Mormonisme. Penganut Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak tahun 1840-an hingga sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan poligami. Tahun 1882, penganut Mormon memprotes keras undang-undang anti-poligami yang dibuat pemerintah Amerika Serikat. Namun praktik ini resmi dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat. Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih mempraktikkan poligami.
Islam : Artikel utama untuk bagian ini adalah: Poligami dalam Islam. Islam pada dasarnya berkonsep monogami dalam aturan pernikahan, tetapi memperbolehkan seorang pria beristri lebih dari satu (poligini).[butuh rujukan] Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya.
Di dalam Al-Quran surat An-nisa ayat ke-129 juga mengatakan bahwa "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian"
Surat an-nisa ayat ke-129 mengatakan bahwa seorang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya, dan mengatakan bahwa kalau seorang suami tidak bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya nanti, sebaiknya tidaklah melakukan poligami.
Poligini dalam Islam baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia terdapat hukum yang memperketat aturan poligami untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia dan Turki adalah contoh negara Arab yang tidak memperbolehkan poligami.
Selanjutnya, Istilah sosial : Poligami, Poligini, dan Poliandri (3)