Senin, 02 Mei 2016

Sejarah Kerajaan/Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.



Sejarah. Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.



Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam.
Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon. Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.


Ki Gedeng Tapa. Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang Mangkubumi dari Kerajaan Sing Apura (Kerajaan ini ditugasi mengatur pelabuhan Muarajati, Cirebon setelah tidak adanya penerus tahta di kerajaan tetangganya yaitu Surantaka setelah anak perempuan penguasanya yaitu Nyi Ambet Kasih menikah dengan Jayadewata (prabu Silih Wangi) ).
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama Islam, pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut Gedong Witana pada tahun 1428 Masehi. yang sekarang menjadi bagian dari kompleks keraton Kanoman,kesultanan Kanoman, setelah mendapatkan pengajaran agama yang cukup, pangeran Walangsungsang dan nyimas Rara Santang kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekah, disana nyimas Rara Santang menemukan jodohnya yaitu seorang pembesar Arab dan menikah sehingga nyimas tidak ikut kembali ke Cirebon. Sepulangnya dari melaksanakan haji pangeran Walangsungsang diminta oleh gurunya untuk membuka lahan guna membuat perkampungan baru sebagai cikal-bakal negeri yang ia cita-citakan, setelah memilih dari beberapa tempat akhirnya diputuskan perkampungan baru tersebut akan dibangun di wilayah Kebon Pesisir.

Ki Gedeng Alang-Alang. Menurut sejarah lisan dan sebagian babad mengenai masalah ini, dikatakan bahwa Pengeran Walangsungsang diperintahkan oleh gurunya Syekh Datuk Kahfi (Nur Jati) untuk membuka lahan di wilayah Kebon Pesisir, namun dikatakan bahwa di Kebon Pesisir tidak sepenuhnya kosong karena sudah ada sepasang suami istri yaitu Ki Danusela dan istrinya yang tinggal disana, akhirnya sebagai bentuk penghormatan maka Kuwu (Kepala Desa) Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Danusela dengan gelar Ki Gedeng Alang-alang, sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

Pangeran Cakrabuana dan Dalem Agung Pakungwati (1430- 1479). Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi) mendirikan Dalem Agung Pakungwati serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M  . Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak.

Sunan Gunung Jati (1479-1568). Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di kabupaten Tuban, Jawa Timur untuk mencari pengganti Sunan Ampel sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, kecamatan Gunung Jati, kabupaten Cirebon, propinsi Jawa Barat. Pusat kegiatan keagaamaan ini kemudian disebut sebagai Puser Bumi (bahasa Indonesia : pusatnya dunia)
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa Cirebon kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan Nyai Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari Mesir) yang sebelumnya menikahi Nyimas Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan Nyai Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu Silih Wangi) agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya Nyai Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang muslim jauh sebelum menikah dengan prabu Silih Wangi, namun hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali ditangan prabu Silih Wangi), seperti yang tertuang dalam naskah Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon.
Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala.
(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah)
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu Silih Wangi selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti. Maklumat tersebut kemudian diikuti oleh para pembesar di wilayah Cirebon (bahasa Cirebon : gegeden).
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

Fatahillah (1568-1570). Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

Panembahan Ratu I (1570-1649). Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin ini dikatakan bahwa keraton Mataram mulai dibangun disekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, namun beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan Pajang, Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan. Pada masa pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya ;
  • Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putera dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
  • Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan seseorang dari wilayah Yuwana
  • Kedu dan Bagelen (sebelah barat pegunungan menoreh) juga berhasil dikuasai
  • Madiun mengakui kekuasaan Mataram pada tahun 1590
  • Surabaya berhasil dikuasi
  • Kediri berhasil dikuasi
  • Priyangan sebelah timur berhasil dikuasai

Persahabatan dengan Mataram dan dibangunnya Benteng Kuta Cirebon. Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, namun hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan. Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.


Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596 dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.

Panembahan Ratu II (1649-1666). Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran

Terpecahnya Kesultanan Cirebon. Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat, khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), dia mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman, sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.



Perpecahan I (1679). Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1679. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, di mana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
  • Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1679-1697)
  • Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1679-1723)
  • Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1679-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai Kaprabonan(Paguron) yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1679 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

Perpecahan II (1807). Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), di mana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).




Masa kolonial dan kemerdekaan. Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, di mana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.



Perkembangan terakhir. Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.
 
Sumber : Wikiwand dll.