Jumat, 28 Agustus 2015

Kisah Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Banyak kisah mistis dari mendiang Sultan Hamengku Buwono IX yang amat menarik bagi orang yang memercayainya, khususnya orang2 dari suku Jawa. Beberapa kisah menarik dan terkesan ghaib bagi orang yang awam misalnya seperti beberapa kisah di bawah ini. Banyak kalangan meyakini berbagai hal mistis dan misterius pernah terjadi pada Sultan Hamengku Buwono IX. Meski demikian, Sultan memang tak banyak bicara tentang pengalaman batin yang dialami. Tapi orang lain menyaksikan banyak kejadian di luar nalar yang berkaitan dengan Dorodjatun (nama kecil Sultan).

1. Sultan Bertemu Nyi Kidul pada Bulan Purnama

Ia mengatakan pernah bertemu satu kali dengan Ratu Kidul. Kisah itu diungkap Sultan kepada tim penyusun buku Tahta untuk Rakyat. "Percaya atau tidak itu terserah masing-masing, tapi begitulah adanya," ujar Sultan, yang dituturkan kembali oleh Atmakusumah Astraatmadja (penyunting buku).

Ratu Kidul dan Sri Sultan HB IX
Pertemuan antara raja dan ratu itu terjadi di Parangkusumo. Hamengku Buwono IX, dalam Tahta untuk Rakyat, mengatakan, "Pada bulan purnama, Eyang Ratu Rara Kidul tampak sangat cantik."Konon "perkawinan" antara raja Jawa dan Ratu Laut Kidul adalah bentuk imbal jasa dari kemenangan Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam, atas Arya Penangsang. Aryo Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto, raja terakhir Kesultanan Demak.

Alkisah, setelah mengalahkan Arya Penangsang, Panembahan Senopati mendapatkan Alas Mentalok, hutan di tenggara Yogyakarta (sekarang daerah Banguntapan). Tapi hutan lebat itu dihuni banyak makhluk halus. Untuk mengusir mereka, ia pun meminta bantuan Nyai Roro Kidul, yang bersinggasana di laut selatan.

Para penunggu itu akhirnya dapat diusir. Imbalannya, pendiri Kerajaan Mataram Islam itu berjanji melabuhkan serangkaian sesaji ke laut selatan sebagai balasan untuk sang Ratu. Pakaian wanita Jawa lengkap, pakaian lama Sultan, belasan kain mori berbeda jenis, potongan rambut dan kuku raja, kembang setaman, kemenyan, minyak wangi, daun sirih, serta aneka buah-buahan dan jajanan pasar dilarung setiap tahun. Sejak itu mitos ini terus-menerus dinarasikan hingga lambat-laun melekat pada setiap sosok raja yang bertakhta. Tak terkecuali Sultan HB IX.

Banyak kalangan meyakini berbagai hal mistis dan misterius pernah terjadi pada Hamengku Buwono IX. Meski demikian, Sultan memang tak banyak bicara tentang pengalaman batin yang dialami.

2. Saksi Lihat Sultan Masuk Laut Pakai Mobil

Kejadian gaib lainnya di Parangkusumo. Setidaknya lebih dari tiga orang warga desa dekat Parangkusumo menjadi saksi. Suatu saat mereka melihat Raja Yogya itu mengendarai mobil merah tanpa kap di pantai. Setelah mengitari bibir pantai beberapa kali, Sultan mengarahkan mobilnya ke laut dan, wuss ..,Sultan masuk laut selatan. Anehnya, mereka kemudian tak melihat Sultan muncul lagi ke daratan

Setelah Hamengku Buwono IX mangkat, banyak orang yang mengatakan melihat penampakan Sultan di Parangkusumo. Tak sedikit warga yang melihat sosok mirip Ngarso Dalem sedang mengendarai mobil dan melakukan hal yang sama: masuk ke laut selatan. "Sewaktu saya kecil, Bapak dan orang-orang tua sering memperbincangkan soal itu. Sekarang sudah ndak ada lagi yang lihat," ujar Ali, 39 tahun, Komandan Search and Rescue Pantai Parangtritis.

Kanjeng Raden Tumenggung Jatiningrat, pinisepuh sekaligus Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, menganggap kejadian di luar nalar mengenai Hamengku Buwono IX bukan sebagai suatu hal yang aneh. Kemistisan para raja Jawa, menurut dia, memang kental karena tradisi turun-temurun.

3. Kisah Keris dan Bisikan Gaib Soal Belanda

Hingga sekarang para Raja Jawa kerap kali dikaitkan dengan hal-hal gaib. Tak terkecuali Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang sudah mengenyam pendidikan a la Belanda sejak umur empat tahun.

Bendara Raden Mas Dorodjatun, nama kecil HB IX, pertama kali mengalami hal gaib saat masih menjadi putra mahkota. Saat itu ayahnya, Hamengku Buwono VIII, baru saja mangkat, sementara perundingan dengan Gubernur Lucien Adam yang sudah berlangsung selama empat bulan berjalan alot. Perundingan maraton itu membuat fisik dan mentalnya terkuras.

Dalam kondisi seperti itulah, pada suatu senja akhir Februari 1940, Dorodjatun yang sedang berbaring menerima bisikan aneh, yang diyakininya sebagai suara ayahnya. "Tole, tekena wae, Landa bakal lunga saka bumi kene." (Nak, tanda tangani saja, Belanda akan segera pergi dari bumi sini.) Malam harinya, ia pun mendatangi Adam dan menyatakan menerima perundingan yang diajukan Belanda.

Tak lama setelah itu, pada 18 Maret 1940, pengangkatan Dorodjatun sebagai Sultan Hamengku Buwono IX dilakukan. Ia menerima Kiai Ageng Kopek. Keris pusaka utama Keraton berbentuk (dhapur) jalak sangu tumpeng bersarung kayu cendana ini hanya berhak dipakai oleh Sultan Hamengku Buwono.

Sebelumnya ia menerima keris Kiai Jaka Piturun saat diangkat sebagai putra mahkota. Keris dengan dhapur jalak dinding ini bersarung kayu timoho. Menurut Romo Tirun, pini sepuh sekaligus Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, tak sembarang putra raja dapat menerima keris tersebut. Penerima yang dianggap tak tepat akan mati tak lama setelah menerima keris.

Salah satu contohnya adalah saat pengangkatan putera mahkota penerus takhta Hamengku Buwono VII. Pengangkatan harus diulang empat kali karena tiga putra mahkota meninggal tanpa penyebab yang jelas. Sedangkan Dorodjatun tetap hidup sampai sampai diangkat menjadi raja dan mangkat saat berumur 76 tahun. "Wallahualam apa penyebabnya. Hanya Tuhan yang tahu," kata Romo Tirun.

4. Sultan Angkat Tiga Abdi Dalem Menjadi Pangeran

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengku Buwono X, mengangkat tiga abdi dalem sebagai pangeran. Ketiga abdi dalem tersebut adalah cucu Sultan Hamengku Buwono VIII. Yudhahaningrat, Suryahadiningrat, dan Pujaningrat, tiga abdi dalem yang sebelumnya bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) itu kini bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH). Menurut Sultan, pengangkatan ketiga pangeran itu adalah urusan internal keraton. “Apa sih, masalahnya? Itu kan abdi dalem. Masalah internal,” ujarnya, 19 Agustus 2015.

Para pangeran baru dilantik Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono (putri kedua Sultan) dalam acara Wisudha Mirunggan atau wisuda istimewa abdi dalem di Bangsal Kasatriyan Keraton, 18 Agustus lalu.

Pangeran merupakan pangkat tertinggi abdi dalem. Sultan menyatakan pengangkatan ketiga pangeran itu dilakukan karena keraton membutuhkan sembilan pangeran dari kalangan abdi dalem senior. Namun Sultan menolak menjelaskan alasan pemilihan ketiganya. “Itu urusan internal saya,” kata Sultan.

Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta, KRT Jatiningrat alias Romo Tirun, membenarkan kabar pengangkatan tiga pangeran itu. Pemilihan abdi dalem menjadi pangeran, kata dia, merupakan wewenang Sultan. Para pangeran bertugas di tepas keraton, sebagaimana ketika mereka bergelar KRT. “Kecuali kalau ada tugas lain dari Ngarso Dalem, saya tidak tahu,” ujarnya.

KPH Yudhohadiningrat dan KPH Suryohadiningrat adalah putra Gusti Bendara Pangeran Haryo Suryobronto, yang merupakan anak Sultan Hamengku Buwono VIII. Adapun KPH Pujaningrat adalah anak Gusti Bendara Raden Ayu Sindureja.

Saat bergelar KRT, ketiganya menjabat penghageng tepas (pimpinan institusi dalam keraton). Yudhohadiningrat merupakan Penghageng Tepas Tandhayekti, Suryohadiningrat adalah Penghageng Tepas Puroraksa, sementara Pujaningrat menjadi Penghageng Tepas Sriwandawa atau sekretaris keluarga keraton. “Setahu saya, mereka masih penghageng di sana,” kata Romo Tirun.

Selain mengangkat anggota kalangan keraton, Sultan berwenang mengangkat abdi dalem dari kalangan rakyat biasa menjadi KPH. Saat ini terdapat tiga pangeran dari rakyat biasa. Meraka adalah KPH Darmodipuro; KPH Triharjun, mantan Sekretaris Daerah Istimewa Yogyakarta; dan KPH Harsonodiningrat, mantan Bupati Gunungkidul.

Menurut Romo Tirun, jumlah pangeran di keraton saat ini ada 11. Rincian pangeran tersebut :  3 cucu Hamengku Buwono VIII, 4 orang dari luar keraton, serta 4 menantu Sultan, yaitu KPH Wironegoro, KPH Purbodiningrat, KPH Yudhonegoro, serta KPH Notonegoro.