Kamis, 02 April 2020

Berjemur Di Indonesia Antara Jam 10-14 Tidak Baik ?

Belakangan ini muncul ajakan untuk berjemur diri di bawah teriknya mentari dengan tujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan virus Covid-19. Banyak yang menganjurkan untuk berjemur di waktu yang tepat yaitu di antara jam 10 dan jam 12.
Dr.Yuli Setyo Indartono seorang dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara di Institut Teknologi Bandung yang menekuni bidang energi terbarukan khusus energi surya mengatakan bahwa anjuran tersebut perlu diwaspadai. Menurut dosen ini waktu tersebut justru waktu yang tidak baik bahkan berbahaya bagi orang yang tinggal di Indonesia atau di dekat garis katulistiwa.

 Beberapa alasannya adalah :

1.        Radiasi ultraviolet (UV) dalam sinar matahari terbagi dalam tiga jenis: UV-A, UV-B, dan UV-C.  UV-C panjang gelombangnya paling pendek memiliki tingkat energi tertinggi sehingga paling berbahaya. UV-A tingkat energinya paling rendah pun masih membawa resiko kesehatan bagi manusia.

Menurut Montreal Protocol Scientific Assessment Panel (2019) :
- UV-A menyebabkan penuaan kulit secara prematur (keriput).
- UV-B, dibutuhkan untuk sintesis pembentukan vitamin D3, serta pembentukan sistem imun dalam tubuh. Tapi membawa resiko kanker kulit, katarak dan menekan sistem imun bila berjemur sangat lama
- UV-C paling berbahaya bila dibandingkan dengan UV-B.

2.        Lapisan ozon atau O3 pada atmosfer atas bumi menapis radiasi UV tersebut. UV-C terserap semua oleh lapisan ozon tersebut, sebagian besar UV-B terserap, sedangkan UV-A yang terserap tidak banyak.

3.        Michael F.Holick (2008) menyatakan bahwa UV-B diperlukan dalam proses sintesis vitamin D3 yang dibutuhkan tubuh manusia. Selain itu, paparan terhadap sinar matahari juga berdampak pada kanker kulit. Paparan UV-B yang berlebihan meningkatkan peluang terjadinya kanker non-melanoma.
Kanker kulit melanoma adalah jenis kanker yang berkembang pada melanosit yaitu sel pigmen kulit yang berfungsi sebagai penghasil melanin. Melanin inilah yang berfungsi menyerap sinar ultraviolet dan melindungi kulit dari kerusakan. Melanoma adalah jenis kanker kulit yang jarang dan sangat berbahaya. Kondisi ini dimulai dari kulit manusia dan bisa menyebar ke organ lain dalam tubuh. Kemunculan tahi lalat baru atau perubahan pada tahi lalat yang sudah ada biasanya menjadi pertanda umum atau gejala melanoma.
Sebaliknya ada indikasi bahwa paparan secukupnya (moderat) sinar matahari menurunkan resiko kanker melanoma yang lebih mematikan.

Jadi berapa lama sebaiknya orang berjemur sinar matahari ?

Secara eksplisit Holick menyebutkan waktu, musim, posisi lintang, kondisi cuaca, dan derajat pigmentasi kulit sebagai faktor-faktor yang memengaruhi jawaban untuk pertanyaan tersebut. Holick memberikan contoh untuk seorang ras Kaukasus dengan kulit tipe II yang tinggal di sekitar lintang 42° Utara di pertengahan hari di bulan Juni yaitu di tengah musim panas dalam kondisi langit cerah. Paparan sinar matahari pada kaki dan tangannya selama 5-15 menit di antara jam 10 pagi sampai jam 15 sore dengan frekuensi dua atau tiga kali seminggu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan Vitamin D. Tapi itu bukan untuk seluruh daerah di Indonesia yg dilewati garis katulistiwa ( lintang geografis 0° ) sd 10°, dan untuk yg tinggal di daerah tropis lainnya.
Perhatikan bahwa contoh yang diberikan Holick tersebut untuk orang yang tinggal di lintang 42° Utara. Ini adalah posisi kota-kota seperti Roma, Barcelona, Porto, Boston, Chicago, atau Hakodate di pulau Hokkaido, Jepang Utara. Rekomendasi itu tidak berlaku untuk orang yang tinggal di Jakarta atau Bandung. Mengapa ?

Seperti yang dituliskan Holick, posisi lintang geografis merupakan faktor penentu. Ini terkait dengan intensitas sinar matahari yang jatuh di posisi lintang tersebut. Lapisan ozon yang melindungi bumi dari radiasi ultraviolet tidak merata tebalnya, lapisan ozon relatif tipis ada di atas khatulistiwa. Oleh karena itu intensitas radiasi UV relatif tinggi juga ada di daerah khatulistiwa sampai dengan 10°.

Pada sisi lain ketika ketinggian matahari rendah yaitu di pagi dan sore hari, intensitas radiasi yang sampai ke permukaan bumi juga lebih rendah. Penyebabnya adalah sinar matahari harus melewati lintasan di atmosfer yang lebih panjang. Intensitas radiasi paling tinggi tercapai ketika matahari berada di titik puncaknya, yaitu tengah hari.

Kesimpulannya bahwa intensitas radiasi paling tinggi adalah saat tengah hari di khatulistiwa. Tingkat intensitas radiasi UV diukur dengan indeks UV yang dimulai dari indeks 0, 1, 2, ....dan seterusnya. Semakin besar indeks UV semakin tinggi pula intensitasnya.

Melihat data indeks UV di kota Bandung, Wiwiek Setyawati dkk. dari LAPAN melakukan penelitian tentang indeks UV di kota Bandung pada periode Oktober 2007 - Januari 2011. Hasilnya adalah hari-hari dengan indeks UV ekstrem yaitu indeks 11 ke atas, ada sebanyak 533 dari 1211 hari yaitu sekitar 44%. Indeks ekstrem ini umumnya tercapai di antara jam 10 dan 13 siang.

Bandingkan data tersebut dengan data kota Roma sebagaimana yang dapat kita peroleh pada situs Weather Online. Sepanjang tahun 2019, indeks UV yang ditunjukkan tidak pernah melampaui angka 10.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tidak mengherankan kalau WHO mengeluarkan rekomendasi yang keras untuk membatasi waktu berjemur sinar matahari tengah hari : “The Sun’s UV rays are strongest between 10 a.m. and 2 p.m. ( = 2 hours each side of the solar noon). Limit exposure to the Sun during these hours.” Demikian yang ditegaskan organisasi dunia tersebut dalam pamflet Sunshine and health: How to enjoy the Sun safely.

Sebagai kesimpulan, untuk mendapatkan manfaat terbaik sinar matahari, berjemurlah di luar atau hindari waktu jam 10 pagi sd jam 14 siang. Di luar waktu jam 10-14 itu tersedia radiasi UV-B dengan intensitas relatif rendah, bermanfaat bagi pembentukan Vit D3 dan sistem imun dalam tubuh dan aman bagi manusia.

Jadi, sebaiknya berjemur 5 sd 10 menit pada waktu Jam 7.30 sd 9.30 pagi dan Jam 15 sd 16 sore.

Referensi:
  1. Weather Online, https://www.weatheronline.co.uk
  1. Montreal Protocol Scientific Assessment Panel (2019),  Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer: 2018 Update, https://ozone.unep.org/sites/default/files/2019-11/twentyquestions.pdf, diakses tanggal 29 Maret 2020
  1. Michael F. Holick (2008), “Sunlight, UV-radiation, vitamin D and skin cancer: how much sunlight do we need?”, dalam Joerg Reichrath (ed.), Sunlight, Vitamin D and Skin Cancer, Landes Bioscience and Springer Science+Business Media, 2008
  1. Wiwiek Setyawati, dkk. (2011), “Variasi temporal indeks ultraviolet (UV) di Bandung (6,8949 LS, 107,5867 BT) hasil monitoring AWS (Automatic Weather Station)”, Seminar Nasional Fisika 2011, http://repository.lapan.go.id/index.php?p=show_detail&id=4374&keywords=, diakses tanggal 29 Maret 2020
  1. World Health Organization (2006),  Sunshine and health: How to enjoy the Sun safely, Pamflet, https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/69771/WHO_SDE_PHE_06.01_eng.pdf, diakses tanggal 29 Maret 2020.